Kedua mertuaku baru saja kembali ke New York City dalam perjalanan pulang yang mengerikan setelah menghabiskan musim dingin. "KEtika untuk yang pertama kalinya mobil mogok, kami sedang di North Carolina." begitu kata ibu mertuaku melalui telepon. "Kami berhasil menyuruh orang memperbaikinya, tapi kemudian mobil itu mogok lagi."
"Pasti menjengkelkan sekali," kataku, dan sudah langsung menceritakan pengalamanku sendiri yang juga menyeramkan, mobilku mogok jam21.30 di pelataran parkir yang sudah sepi. Tetapi, ada orang mengetuk pintu rumah, sehingga ibu mertuaku mengakhiri obrolan kami di telepon. "Terima kasih kau sudah mau mendengarkan ceritaku." katanya menambahkan, "tapi yang paling membesarkan hatiku adalah bahwa kau tidak menceritakan pengalamanmu yang paling buruk tentang mobil mogok." Pipiku terasa panas, merah padam. Kututup telepon. Selama beberapa hari berikutnya, aku terus memikirkan kearifan kata-kata terakhir yang diucapkan ibu mertuaku itu di telepon.
Seringkali rasanya ketika aku mulai menceritakan pertengkaranku dengan putraku, kekecewaan dalam pekerjaanku, atau bahkan mobilku yang mogok, temanku memotong ceritaku dan berkata, "Aku juga baru saja mengalami hal yang sama."
Tiba-tiba saja obrolan kami menjadi obrolan tentang anaknya yang tidak tahu berterima kasih, majikannya yang menyebalkan, selang bensin mobilnya bocor. Dan yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk-anggukan kepala, merasakan bahwa ternyata kita semua mengidap gangguan kekurangan perhatian secara emosi.
Yang kita harapkan ketika kita sedang kesal atau gelisah atau sangat gembira adalah mendengarkan teman yang sepertinya punya waktu hanya untuk mendengarkan cerita kita.
"Kemampuan untuk menemani orang lain yang sedang ditimpa musibah atau yang sedang bergembira adalah landasan sikap empati sejati"
"Pasti menjengkelkan sekali," kataku, dan sudah langsung menceritakan pengalamanku sendiri yang juga menyeramkan, mobilku mogok jam21.30 di pelataran parkir yang sudah sepi. Tetapi, ada orang mengetuk pintu rumah, sehingga ibu mertuaku mengakhiri obrolan kami di telepon. "Terima kasih kau sudah mau mendengarkan ceritaku." katanya menambahkan, "tapi yang paling membesarkan hatiku adalah bahwa kau tidak menceritakan pengalamanmu yang paling buruk tentang mobil mogok." Pipiku terasa panas, merah padam. Kututup telepon. Selama beberapa hari berikutnya, aku terus memikirkan kearifan kata-kata terakhir yang diucapkan ibu mertuaku itu di telepon.
Seringkali rasanya ketika aku mulai menceritakan pertengkaranku dengan putraku, kekecewaan dalam pekerjaanku, atau bahkan mobilku yang mogok, temanku memotong ceritaku dan berkata, "Aku juga baru saja mengalami hal yang sama."
Tiba-tiba saja obrolan kami menjadi obrolan tentang anaknya yang tidak tahu berterima kasih, majikannya yang menyebalkan, selang bensin mobilnya bocor. Dan yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk-anggukan kepala, merasakan bahwa ternyata kita semua mengidap gangguan kekurangan perhatian secara emosi.
Yang kita harapkan ketika kita sedang kesal atau gelisah atau sangat gembira adalah mendengarkan teman yang sepertinya punya waktu hanya untuk mendengarkan cerita kita.
"Kemampuan untuk menemani orang lain yang sedang ditimpa musibah atau yang sedang bergembira adalah landasan sikap empati sejati"
Fri Oct 22, 2010 3:58 pm by Try budi
» Tatoo Dalam Buddhisme :?:
Fri Oct 22, 2010 3:23 pm by Try budi
» Apa bedanya Vihara dan Kelenteng
Fri Oct 22, 2010 3:07 pm by Try budi
» sate torpedo
Thu Dec 10, 2009 3:03 pm by felix nugroho
» toko mas jelita
Thu Dec 10, 2009 3:03 pm by felix nugroho
» tabrakan mengerikan
Thu Dec 10, 2009 3:02 pm by felix nugroho
» seperti mama
Thu Dec 10, 2009 3:02 pm by felix nugroho
» sedihnya jadi cowo
Thu Dec 10, 2009 3:01 pm by felix nugroho
» sayembara putri raja
Thu Dec 10, 2009 3:01 pm by felix nugroho